Dua puluh tahun yang lalu, saat Saya duduk di bangku SMP, kedua orangtua Saya yang berprofesi sebagai pendidik selalu mendorong kami empat bersaudara untuk unggul dalam bidang akademik. Kami diminta fokus belajar, mengikuti berbagai les pelajaran, masuk kelas olimpiade, dan berkompetisi di kelas akselerasi. Meski semua itu memberikan banyak manfaat, sering kali Saya merasa kelelahan dan jenuh untuk belajar terus siang malam. Puncaknya, ketika Kakak Saya berhasil lulus dari kelas akselerasi, dan Saya pun diharapkan mengikuti jejaknya. Padahal, minat Saya berbeda jauh dari ketiga kakak Saya. Saya lebih suka menulis, menyanyi, dan menggambar. Namun, orangtua tetap ingin anak-anaknya unggul di bidang akademik dibandingkan bidang seni.
Pada masa itu, rasanya aneh jika tidak mengikuti kehendak orangtua. Saya pun mengesampingkan hobi dan mengikuti jalur yang diharapkan mereka. Saat SMA di kelas akselerasi, yang diisi siswa dengan IQ lebih dari 130, Saya mulai menyadari perbedaan minat. Ketika guru bertanya tentang rencana jurusan kuliah, 80% teman-teman Saya memilih kedokteran. Sementara Saya, dengan penuh keyakinan, berkata, “Bu, Saya ingin kuliah di ibu kota dan menjadi artis.” Jawaban itu membuat semua siswa tertawa cekikikan, dan menganggap jurusan seni bukan jurusan yang menjanjikan. Pada akhirnya, hampir semua teman Saya diterima di kedokteran, kecuali Saya. Iya, Saya memilih melanjutkan S1 ke luar negeri Korea Selatan dengan beasiswa, mengambil jurusan Business Management Information System—sebuah pilihan yang jauh dari apa yang saya inginkan, yang ternyata masa kini menjadi jurusan yang paling primadona.
Kini, 20 tahun setelahnya, Saya sudah beranjak menjadi orangtua dengan dua anak lelaki yang lucu, cerdas, dan istimewa. Saya sebagai orangtua muda yang masih meraba gaya pengasuhan, gaya pendampingan, kepada anak-anak zaman sekarang. Sampai pada titik, masih merasa luka dari masa lalu—mengapa dulu Saya tidak bisa menjadi apa yang Saya inginkan? Mengapa dulu selalu orangtua yang mengarahkan? Mengapa dulu Saya merasa tidak didengar? Jangan-jangan Saya mendendam? Jangan-jangan Saya iri?
Kini saatnya meredam, merawat luka lama pengasuhan. Apakah luka ini karena orangtua? Tidak! Saya sadar kenapa orangtua saat itu harus memaksakan, Saya sadar kenapa orangtua sangat keras mengarahkan. Karena pada saat itu belum adanya kurikulum, dukungan pemerintah, atau ekosistem yang mendukung setiap anak istimewa,memilih sesuai dengan bakat minatnya.
Benar memang, pendidikan ini bukan tanggungjawab orangtua saja, ini tanggung jawab komunal. Jika semua berkolaborasi, bersinergi maka perubahan akan terjadi.
Bersyukur saat ini Saya di fase menjadi orangtua yang bertumbuh, terus belajar menjadi orangtua, belajar mengerti dan memahami diri sendiri, anak-anak dan keluarga, bahkan dampaknya untuk lingkungan dan Bangsa Indonesia.
Bersyukur saat ini, dengan adanya kebijakan Kurikulum Merdeka, tanggungjawab komunal ini semakin kuat dengan adanya kolaborasi antar mitra, komunitas, sekolah, bahkan para penggerak yang bertujuan untuk menjadikan siswa merdeka dan bahagia.
Kami sebagai orangtua tentunya merasa terbantu, ketika kita mengarahkan anak sesuai dengan bakat minatnya ekosistem sudah mendukung, dan fasenya pun mendukung. Anak-anak tidak lagi distandarkan dalam satu nilai, namun bisa berjalan dengan fasenya masing-masing, inilah yang mendukung anak-anak menjadi dirinya sendiri, menjadi anak mandiri, menjadi anak yang pandai berkomunikasi, dan berkolaborasi.
Mungkin inilah yang dulu dirasakan orangtua Saya—dilema yang sama dan tujuan yang sama, yaitu mempersiapkan masa depan anak sebaik-baiknya.
Apakah saya menyesal dan masih luka? Tidak, Saya menyadari bahwa saat itu, ketika remaja Saya hanya ingin tampil beda, Saya hanya ingin didengar, Saya hanya ingin merdeka. Kami sebagai orangtua pun merasa semakin dewasa. Untuk tidak menggunakan cara-cara lama. Beruntungnya Kurikulum masa kini lebih menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi berbasis proyek, bukan hafalan yang membutuhkan belajar siang malam. Anak-anak sekarang membutuhkan pemicu dan stimulan untuk terjun ke lapangan dan merasakan hidup yang sebenarnya.
Terima kasih, Bapak dan Ibu. Saya tidak pernah menyesal engkau mendidikku seperti saat itu. Karena begitu berat tanggung jawabmu, Betapa dilematik dirimu ketika engkau berbeda dengan orangtua lainnya. Terimakasih sudah mengajarkanku, mendampingiku, mempersiapkan masa depanku sebaik-baiknya. Sekarang, Saya Pun berusaha mendidik anak-anakku dengan cara yang lebih baik, sesuai dengan zamannya dan kebutuhannya. Menjadi anak yang merdeka, menjadi anak yang bahagia.